Kamis, 18 Juni 2009

USAHA GURU MEMPERBINCANGKAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA MELALUI PENDEKATAN ‘TANDUR’

A. Pendahuluan

Pendidikan bukanlah suatu hal yang statis atau tetap melainkan suatu hal yang dinamis sehingga menuntut adanya suatu perubahan atau perbaikan secara terus menerus. Perubahan dapat dilakukan dalam hal metode mengajar, buku-buku, alat-alat labiratorium, maupun materi-materi pelajaran.
Matematika merupakan salah satu bidang studi yang menduduki peranan penting dalam pendidikan. Hal ini dapat dilihat dari waktu, jam pelajaran sekolah lebih banyak di bandingkan pelajaran lain. Pelajaran matematika dalam pelaksanaan pendidikan diberikan kepada semua jenjang pendidikan mulai dari taman kanak-kanak sampai sekolah menengah atas.
Metode mengajar merupakan sarana interaksi guru dengan siswa di dalam kegiatan belajar mengajar. Dengan demikian yang perlu di perhatikan adalah ketepatan dalam memilih metode mengajar, metode mengajar yang dipilih harus sesuai dengan tujuan, jenis dan sifat materi yang diajarkan. Kemampuan guru dalam memahami dan melaksanakan metode tersebut sangat berpengaruh terhadap hasil yang dicapai. Ketepatan menggunakan suatu metode dapat menimbulkan kebosanan, kurang dipahami dan monoton sehingga mengakibatkan sikap yang acuh terhadap pelajaran matematika.
Masalah ini seringkali menghambat dalam pembelajaran. Kurang tepatnya pemilihan metode mengajar oleh guru akan mempengaruhi pretasi belajar yang dicapai oleh siswa. Selain metode mengajar hal lain yang juga sangat mempengaruhi adalah minat siswa dalam pelajaran matematika pada khususnya masih sangat rendah. Hal ini karena siswa beranggapan bahwa matematika adalah pelajaran yang sulit dan menakutkan.
Untuk mengantisipasi masalah tersebut maka perlu dicarikan suatu formula pembelajaran yang tepat sehingga dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa. Para guru hendaknya terus berusaha menyusun dan menerapkan berbagai cara variansi agar siswa tertarik dan bersemangat dalam mengikuti pelajaran matematika salah satunya melalui metode discovery-inquiry. Manusia secara kodrati telah mampu berpikir untuk menghadapi problema kehidupan sehari-hari. Melalui pendekatan pembelajaran discovery-inquiry, yaitu mengajak siswa untuk dapat menemukan masalah-masalah yang berkaitan dengan materi pelajaran sehingga siswa dapat terlibat secara aktif dalam proses belajar mengajar. Guru sebagai fasilisator menciptakan proses belajar aktif, kreatif dan menyenangkan secara garis besar proses pembelajaran dengan discovery-inquiry.
Oleh karena itu, guru perlu melakukan inovasi pembelajaran dengan metode pembelajaran yang digunakan melalui pemanfaatan situs e-dukasi.net. Guru dituntut menyampaikan materi ajar dengan metode pembelajaran yang tepat dengan memanfaatkan kemajuan teknologi yang ada saat ini.
Seiring dengan terus berkembangnya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK), pendidikan saat ini hendaknya didasarkan pada tingkat kualitas dan kemampuan para guru dalam menggunakan berbagai metode pembelajaran yang ada untuk menghadapi permasalahan yang yang dihadapi oleh siswa. Guru sebagai pendidik juga harus mempersiapkan pembelajaran yang dapat menumbuhkan cara berfikir siswa agar menjadi lebih kritis dan kreatif yang memacu kemandirian siswa dalam belajar
Kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat dewasa ini menempatkan posisi pendidikan sebagai penentu bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di masa selanjutnya. Oleh karena itu, sumbangan teknologi sebagai salah satu sumber informasi sangat besar terhadap peningkatan pembelajaran siswa khususnya di era globalisasi ini.
Dalam dunia pendidikan, pembelajaran matematika menggunakan perangkat komputer sangatlah mudah digunakan untuk menyampaikan materi yang memerlukan animasi, gambar, teks, dan warna. Semua fasilitas tersebut sangatlah menarik bagi siswa untuk meningkatkan kemandirian siswa belajar di sekolah.
Pembelajaran kelas yang sangat erat dengan diktator guru, sehingga siswa menjadi statis dalam keberlangsungan pembelajaran. Oleh karena itu, obyek-obyek yag berkaitan dengan pembelajaran di kelas haruslah mendapatkan perhatian yang utuh dari guru. Obyek-obyek yang dimaksud meliputi : metode pembelajaran, ruang kelas, sarana-prasarana, dll.
B. Pembahasan

Kerangka ‘TANDUR’ (Tanamkan, Alami, Namai, Demonstrasikan, Ulangi, dan Rayakan) mencerminkan gaya mengajar progresif. Menurut De Porter, dkk (2000:88) apapun mata pelajaran, tingkat kelas, atau pendengar, kerangka ini menjamin siswa menjadi tertarik dan berminat pada setiap mata pelajaran. Kerangka ini juga memastikan bahwa mereka mengalami pembelajaran, berlatih, menjadikan isi pelajaran nyata bagi mereka sendiri, dan mencapai sukses.

Penjelasan kerangka ‘TANDUR’ dan maknanya adalah sebagai berikut:
1. Tanamkan
Tumbuhkan minat belajar dalam diri siswa dengan memuaskan rasa ingin tahu siswa dalam bentuk : Apa Manfaatnya BAgiKu? (AMBAK). Dalam hal ini sertakan diri mereka dan pikat diri mereka. Penyertaan menciptakan jalinan dan kepemilikan bersama atau kemampuan saling memahami. Penyertaan akan memanfaatkan pengalaman mereka, mencari tanggapan, dan mendapatkan komitmen untuk menjelajah. Tumbuhkan suasana yang menyenangkan di hati siswa, dalam suasana relaks, tumbuhkan interaksi dengan siswa, masuklah ke alam pikiran siswa, dan bawalah alam pikiran siswa ke alam pikiran guru, yakinkan siswa mengapa harus mempelajari ini dan itu, belajar adalah suatu kebutuhan siswa, bukan suatu keharusan.
2. Alami
Ciptakan dan datangkan pengalaman umum yang dapat dimengerti semua siswa. Dengan mempelajari sesuatu dari kehidupan nyata, siswa memiliki pengalaman awal, suatu kaitan dengan konsepnya.
3. Namai
Sediakan kata kunci, konsep, model, rumus, stategi, sebuah “masukan”. Penanaman memuaskan hasrat alami otak untuk memberikan identitas dan mendefinisikan. Penanaman dibangun atas pengetahuan dan keingintahuan siswa pada saat itu.


4. Demonstrasikan
Setelah siswa mengalami belajar akan sesuatu, sediakan kesempatan bagi siswa untuk “menunjukkan bahwa mereka tahu.” Berikan kesempatan kepada siswa untuk mengkaitkan pengalamannya dengan data baru, sehingga siswa menghayati dan membuatnya sebagai pengalaman pribadi.

5. Ulangi
Pengulangan memperkuat koneksi syaraf dan menumbuhkan rasa “Aku tahu bahwa aku tahu ini!” Pengulangan sebaiknya dilakukan dengan menggunakan konsep multi kecerdasan.

6. Rayakan
Perayaan merupakan ungkapan menghormati usaha, ketekunan, dan kesuksesan. Perayaan adalah ekspresi dari kelompok seseorang yang telah berhasil mengerjakan sesuatu tugas atau kewajiban dengan baik. Maka sudah selayaknya jika siswa telah berhasil mengerjakan tugas dan kewajiban dengan baik, maka dapat dirayakan lewat bertepuk tangan atau bernyanyi bersama-sama (De Porter,dkk, 2000:89-93).















C. Penutup

Sungguh sulitnya menjadi seorang guru Matematika yang menghadapi banyak siswa dengan karakter, pola pikir, dan minat maupun kebutuhan yang heterogen. Dengan adanya Pendekatan ‘TANDUR’ diharapkan dapat membuat guru, terutama guru matematika menjadi guru yang dapat membuat aktif siswa dikelasnya, dan dapat membuat pembelajaran di kelas berpusat kepada siswa. Karena dalam Pendekatan ‘TANDUR’ terdapat Tanamkan, yang berarti Tumbuhkan minat belajar dalam diri siswa dengan memuaskan rasa ingin tahu siswa, dan menyertakan diri mereka dan pikat diri mereka dalam pembelajaran secara langsung yang dapat menciptakan jalinan dan kepemilikan bersama atau kemampuan saling memahami sehingga siswa akan menyadari bahwa belajar adalah suatu kebutuhan siswa, bukan suatu keharusan.
Dalam Pendekatan ‘TANDUR’ terdapat Alami, yang berarti menciptakan dan mendatangkan pengalaman umum yang dapat dimengerti semua siswa. Dengan mempelajari sesuatu dari kehidupan nyata, siswa memiliki pengalaman awal, suatu kaitan dengan konsepnya.
Terdapat Namai, yang berarti menyediakan kata kunci, konsep, model, rumus, stategi, sebuah “masukan” yang dapat memuaskan hasrat alami otak untuk memberikan identitas dan mendefinisikan. Penanaman dibangun atas pengetahuan dan keingintahuan siswa pada saat itu.
Dalam Pendekatan ‘TANDUR’ juga terdapat Demonstrasikan, yang menyediakan kesempatan bagi siswa untuk “menunjukkan bahwa mereka tahu.” Berikan kesempatan kepada siswa untuk mengkaitkan pengalamannya dengan data baru, sehingga siswa menghayati dan membuatnya sebagai pengalaman pribadi.
Ulangi, dapat memperkuat koneksi syaraf dan menumbuhkan rasa “Aku tahu bahwa aku tahu ini!” Pengulangan sebaiknya dilakukan dengan menggunakan konsep multi kecerdasan.
Rayakan yang merupakan ungkapan menghormati usaha, ketekunan, dan kesuksesan. Perayaan adalah ekspresi dari kelompok seseorang yang telah berhasil mengerjakan sesuatu tugas atau kewajiban dengan baik, yang dapat meningkatkan keaktifan dan hasrat siswa untuk belajar. Maka sudah selayaknya jika siswa telah berhasil mengerjakan tugas dan kewajiban dengan baik, maka dapat dirayakan lewat bertepuk tangan atau bernyanyi bersama-sama (De Porter,dkk, 2000:89-93).
Semoga usaha yang dilakukan guru dapat menjadi satu langkah maju untuk mencapai keberhasilan dalam mengajarkan matematika, Amin.















DAFTAR PUSTAKA

Ali, M.(1987).Guru dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algesindo.


Ambarwati, Nurfika.(2006).PELAJARAN MATEMATIKA MELALUI PENDEKATAN QUANTUM TEACHING DI SMP NEGERI 2 MONDOKAN SRAGEN TAHUN AJARAN 2005/2006.Surakarta:UMS.


Depdikbud RI. (1996). Kurikulum Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA). Jakarta: Depdikbud.


Guruvalah.(2007). QUANTUM TEACHINGMENJADIKAN KELAS MENGGAIRAHKAN.Disajikan

Rabu, 06 Mei 2009

Perbincangan Matematika

ELEGI MENGGAPAI PERBINCANGAN BANGUN PERSEGI
Monolog Seorang Penonton :
Setelah berulang-ulang kali berusaha untuk membaca memahami banyak elegi yang telah ada. Aku pun ingin mencoba berusaha lagi untuk menjelajahi pikiranku dalam dunia Matematika ini. Jika aku mengizinkan pikiranku melayang tanpa kendali aku pun akan kembali meluruskan niatku ini. Hatiku pun akan aku kembalikan untuk istighfar kepada Alloh Swt.
Subyek 1 :
Suatu ketika, aku menemukan bangun segiempat yang unik. Aku sangat tertarik oleh keelokan bentuk segiempat itu.
Subyek 2 :
Mungkin segiempat itu telah diperbincangkan oleh siswa SD. Mereka telah mengetahui bagaimana bentuk bangun yang engkau maksud.
Subyek 1 :
Tapi, yakinkah engkau mereka dapat mewakili apa yang ingin aku tanyakan tentang bangun yang aku maksudkan ?
Subyek 2 :
Bukankah engkau belum mencoba. Aku pun tidak punya daya untuk sekedar meyakinkan engkau wahai subyek 1.
Bagaimana jika kita simak perbincangan bangun segiempat yang engkau maksud ? Engkau bisa menanyakan apa yang ingin engkau tahu ? Sebentar lagi kita akan mendengarkan perbincangan bangun tersebut.
Persegi :
Wahai subyek 1 dan subyek 2, bukankah engkau telah menemui aku di matematika bermonolog imaginer. Aku akan mengingatkan ‘Gunakan luas satuan’.
Subyek 1 :
Aku berusaha dengan keras untuk menjawab pertanyaan persegi. Dan, aku ingat Si Matematika yang menjawab ‘tutupilah sawahmu dengan bangun-bangun satuan lalu engkau akan temukan banyaknya luas satuan’.
Sisi Persegi :
Benar wahai subyek 1. Tapi bukankah sawah itu berbentuk persegi panjang ? itu bukan sifatku.
Aku tidak sama dengan persegi panjang. Aku selalu mempunyai panjang yang sama. Wahai subyek 1, apa yang engkau jawab sebenar-benarnya bukan aku ?
Sudut siku-siku :
Wahai sisi persegi, engkau melupakan aku. Janganlah engkau naik ke atas panggung dengan kesombongan yang ada di dalam sifatmu itu. Ajaklah aku untuk melengkapi apa yang menjadi sifat bangun persegi ? bukankah engkau hanyalah bagian dari bangun persegi ? kedudukanmu sama dengan aku ?
Sisi Persegi :
Terima kasih wahai sudut siku-siku, engkau telah menyelamatkan aku dari jurang kesombongan. Aku tidak berdaya tanpa engkau ada. Ketika aku dan sisi-sisi persegi yang lain melepas rindu akan kebersamaan. Aku dan sisi-sisi persegi yang lain pun akan bersatu. Kami berempat pun akan saling mendekat dan sangat dekat. Kami pun tak ingin terpisah lagi. Aku pun merasa nyaman akan keelokan bangun persegi.
Keempat sisi persegi :
Janganlah engkau begitu wahai sudut siku-siku. Janganlah engkau menyangka kami tidak akan mengajakmu. Kami pun tahu engkau mempunyai banyak tempat yang mengharapmu. Tetapi yakinlah bahwa kami hanyalah bagian-bagian dari persegi. Tidaklah pantas untuk kami menyombongkan sifat-sifatku ini.
Sudut siku-siku :
Ketika aku akan menatap ke depan, mengapa engkau selalu menghalang-halangiku wahai keempat sisi persegi ?
Aku ingin diketahui, bahwa aku juga berkedudukan sama seperti dirimu.
Keempat sisi persegi :
Wahai sudut siku-siku, betapa beruntungnya dirimu ? Banyak bangun yang nyaman engkau singgahi, tapi bagaimanakah aku ? Para bangun akan memilih-milih aku. Dan, aku pun tidak ingin menghalang-halangimu. Tetapi, apalah daya jika ini telah menjadi takdirku.
Persegi :
Wahai sisi persegi dan sudut siku-siku, kalian adalah bagian-bagianku. Tetapi, ada orang yang memanggilku bagian dari segiempat. Aku tidak mempunyai bentuk tanpa kalian. Tetaplah jadi bagian-bagianku…
Subyek 1 :
Aku bisa merasakan begitu indahnya wahai persegi. Berbahagialah bagian-bagianmu selalu ada di sampingmu. Mereka saling berharap untuk selalu bersatu untuk mempertahankan keelokan bentukmu. Lalu apakah yang engkau lakukan untuk mereka ?
Persegi :
Aku akan berusaha untuk menjadikan mereka sebenar-benarnya diri sendiri wahai subyek 1. Mereka tidak lain dan tidak bukan adalah diriku sendiri.
Subyek 1 :
Apakah aku boleh bertanya wahai persegi ? Aku mempunyai pekarangan berbentuk persegi, mempunyai sisi 10. Lalu bagaimanakah dengan luas pekaranganku ?
Persegi :
Apakah aku perlu menjawabnya ? Jika engkau akan berusaha menjelajahi pikiranmu dengan matematika maka pahamilah aku. Bukankah telah ada daya pikirmu untuk menjawab pertanyaanmu itu ?
Subyek 1 :
Terima kasih atas penjelasanmu. Aku akan menggunakan luas satuan, lalu aku akan menutupi pekaranganku ini dengan bangun-bangun satuan. Ternyata aku temukan baahwa banyaknya luas satuan adalah 10 kali 10 sama dengan 100. Akhirnya, aku menemukan luas pekaranganku yaitu 100.
Subyek 2 :
Semoga engkau telah mendapatkan apa yang ada di pikiranmu wahai subyek 1. Dan aku pun akan menggunakan sifat-sifatmu wahai persegi.

Rabu, 18 Maret 2009

Filsafat Dalam Perspektif Sejarah

Bila cabang filsafat yang lima – epistemologi, metafisika, logika, etika dan estetika – dijadikan acuan, maka filsafat sejarah termasuk bagian dari cabang filsafat metafisika. Di sini orang mengajukan serangkaian pertanyaan radikal seputar persoalan sejarah, seperti: apa hakikat sejarah, apa tujuan gerak sejarah, apakah sejarah manusia mempunyai kecenderungan-kecenderungan, apakah perkembangan dalam sejarah manusia diatur oleh hukum-hukum tertentu, apakah hukum-hukum yang membentuk sejarah manusia, bagaimana sejarah manusia berawal, dan bagaimana ia berkembang, faktor-faktor apa yang berpengaruh secara efektif dalam teori tentang sejarah? Karena keradikalan pertanyaan yang diajukan mengenai hakikat sejarah itulah yang memungkinkan filsafat sejarah termasuk cabang metafisika.

Pengkajian sejarah secara filsafati dianggap cukup penting untuk memajukan Ilmu sejarah. Bahkan, bagi Kuntowijoyo (1994: xi-xii) peran kefilsafatan dalam pengkajian sejarah adalah sebuah keniscayaan bagi kemajuan Ilmu Sejarah, baik masalah kefilsafatan yang menyangkut pandangan hidup (specultive philosophy of history) maupun menyangkut teori, metodologi dan metodenya (critical philosophy of history). Malah, masalah etika — yang memperhatikan hubungan Ilmu Sejarah dengan ilmu-ilmu lainnya, terutama ilmu-ilmu sosial – dan estetika – yang mempersoalkan bagaimana menulis sejarah sejarah yang baik dan benar, misalnya tentang gaya, kuantifikasi, sejarah lisan – pun sesungguhnya punya peran penting bagi tujuan yang sama, meskipun kedua hal yang terakhir ini sering terabaikan.

Arti penting peran kefilsafatan bagi kemajuan Ilmu Sejarah, ternyata, tidak tampak dalam kenyataan. Para sejarawan “biasa” masih banyak yang kurang peduli dengan persoalan kefilsafatan (Filsafat Sejarah). Memang benar, sebagaimana diungkapkan oleh Ankersmit (1987: bahwa “untuk menjadi seorang sejarawan yang ulung, tidak mutlak perlu memiliki pengetahuan filsafat sejarah. Banyak sejarawan ulung tak pernah menekuni masalah-masalah filsafat sejarah”. Akan tetapi patut di sini diungkapkan manfaat pengetahuan filsafat sejarah bagi seorang peneliti sejarah, yakni bahwa pengetahuan mengenai filsafat sejarah dapat mempertajam kepekaan ktitis seorang peneliti sejarah. Fischer, seorang filosof sejarah, pada tahun 1971 menulis sebuah buku berjudul Historian’s Fallacies. Di dalamnya ia menyoroti beberapa kepincangan dalam penalaran yang secara sistematis muncul pada sementara ahli sejarah. Bahkan dalam buku ini ditemukan bahwa kekurangan daya nalar itu terdapat pada karya-karya ahli-ahli sejarah terkemuka (Ankersmit, 1987: 8).

Selain itu, kegunaan filsafat sejarah bagi seorang peneliti sejarah dapat meningkatkan kemampuan peneliti sejarah dalam mengadakan suatu penilaian pribadi mengenai keadaan pengkajian sejarah pada suatu saat tertentu. Bahkan, sekedar pengetahuan, filsafat sejarah mutlak perlu, agar dapat mengapresiasi pengkajian sejarah masa kini dengan memuaskan. Bukankah pengkajian sejarah turut ditentukan oleh diskusi-diskusi antara para filsuf sejarah mengenai sejarah? Selanjutnya, sedikit pengetahuan mengenai filsafat sejarah dapat memaparkan latar belakang bagi seorang ahli sejarah, untuk menentukan posisinya sendiri terhadap usaha-usaha memasukkan pendekatan-pendekatan baru terhadap sejarah. Dalam pengkajian sejarah terdapat banyak aliran, sehingga perlu diadakan identifikasi. Di sini pengetahuan mengenai filsafat sejarah ada manfaatnya.

Satu hal lagi perlu disampaikan di sini bahwa setiap ahli sejarah yang dengan sungguh-sungguh menekuni pofesinya, mau tidak mau menganut beberapa pendapat yang berakar pada filsafat sejarah. Intuisi-intuisi serupa itu tidak selalu serasi dengan perkembangan ilmu sejarah. Para filosof sejarah dengan susah payah merekonstruksi logika penelitian sejarah; maka dari itu tidak mengherankan, bahwa para peneliti sejarah sendiri, kalau hanya mengandalkan intuisinya, kadang-kadang sampai pada kesimpulan-kesimpulan mengenai bidang penelitiannya yang sukar dapat dipertahankan. Memang, filsafat sejarah tidak mengajarkan bagaimana pengkajian sejarah harus dilakukan. Akan tetapi, filsafat sejarah dapat menawarkan pengertianmengenai untung ruginya berbagai pendekatan terhadap masa silam dan menjadikan kita waspada terhadap pendapat-pendapat kaliru mengenai tugas dan tujuab pengkajian sejarah.

Apa yang diharapkan dari Filsafat Sejarah? Untuk menjawab pertanyaan ini, terlebih dahulu perlu dibedakan tiga tahap. Pertama, tahap ilmu-ilmu pendukung. Tahap ini sangat penting bagi bagi seorang ahli sejarah bila ia ingin menentukan dengan tepat apa yang terjadi pada masa silam. Pada tahap ini selalu dipermasalahkan fakta dari masa silam. Tahap kedua menyangkut penulisan sejarah sendiri. Di sini fakta disusun menurut suatu kerangka yang penuh arti, dslam bentuk buku atau karangan. Untuk memperoleh kerangka penuh arti itu si ahli sejarah harus mempergunakan beberapa kaidah atau pedoman yang menjamin, supaya penyusunan fakta itu menghasilkan suau penafsiran mengenai masa silam yang dapat dimengerti atau pada prinsip yang dapat dipertahankan. Tahap ketiga adalah filsafat sejarah, khususnya filsafat sejarah kritis. Yang dipermasalahkan di sini ialah sejauhmana kaidah-kaidah serta pedoaman-pedoan yang disinggung di atas dapat dibenarkan, sehingga si ahli sejarah mengolah fakta-fakta yang telah ditemukan untuk menggambarkan masa silam.

Memang, seorang filsuf sejarah mempermasalahkan kaidah-kaidah serta pedoman-pedoman yang dipergunakan seorang ahli sejarah, sehingga pada prinsipnya memang mungkin, bahwa kaidah dan pedoman tersebut, bila dipandang dari sudut filsafat, tidak dapat dipertahankan, sehingga harus disingkirkan. Akan tetapi, andaikata sungguh terjadi suatu perbedaan pendapat antara apa yang dianggap legitim oleh seorang filsuf sejarah di satu pihak dan apa yang dilakukan oleh seorang ahli sejarah di lain pihak, ini belum berarti bahwa sang filsuf sejarah benar sedangkan sang ahli sejarah salah. Sang filsuf hendaknya selalu sadar, bahwa penelitian dan pengkajian sejarah dapat mengandalkan pengalaman berabad-abad lamanya dalam menekuni bahan-bahan sejarah. Kecerdasan para ahli sejarah bersama telah dipertajam lewat perdebatan-perdebatan dengan para rekan sejawat yang ada habis-habisnya. Maka dari itu, bila terjadi suatu konflik antara filsafat sejarah dan pengkajian sejarah, biasanya bukan si peneliti yang salah melainkan si filsuf.

Sesungguhnya terdapat tiga cakupan makna dalam Filsafat Sejarah. Pertama, filsafat sejarah yang bersifat deskripatif; di sini dikaji apa yang ditulis oleh berbagai ahli sejarah? Bagaimana ciri karya pada umumnya; adkah mereka menulis dengan maksud tertentu? Kemudian dapatkan dilihat suatu evolusi dari abad ke abad dalam cara para ahli itu menggambarkan masa silam? Bagian filsafat sejarah ini dinamakan “sejarah penulisan sejarah” atau historiografi. Kedua, berasal dari arti yang terkandung dalam kata sejarah itu sendiri. Kata sejarah pertama-tama dapat diperuntukkan bagi proses historis itu sendiri (sejarah sebagai peristiwa), baru kemudian bagi penulisan proses historis menurut kaidah-kaidah ilmu sejarah menurut kaidah ilmu-ilmu sejarah (sejarah sebagai kisah). Filsafat sejarah spekulatif berdasarkan arti yang pertama. Seorang filsuf sejarah spekulatif memandang arus sejarah faktual dalam keseluruhannya dan berusaha untuk menemukan suatu struktur dasar di dalam arus itu. Seorang filsuf sejarah spekulatif sungguh melangkah lebih jauh daripada seorang ahli sejarah semata-mata. Bila seorang ahli sejarah menerangkan dan melukiskan masa silam, ia melakukan itu dengan menerima masa silam apa adanya. Akan tetapi, seorang filsuf sejarah spekulatif tidak merasa puas dengan sikap seperti; a mencari suatu struktur-dalam yang tersembunyi di dalam proses historis dan hanya dapat berlangsung demikian dan hanya dapat erlangsung demikian.

Filsafat sejarah ktitis berdasarkan arti sejarah yang kedua. Filsafat sejarah kritis meneliti bagaimana masa silam dilukiskan atau digambarkan. Seorang filsuf sejarah kritis meneliti sarana-sarana yang dipergunakan seorang ahli sejarah dalam melukiskan masa silam dengan cara yang dapat dipertanggungjawabkan. Hubungan antara filsafat sejarah kritis dan pengkajian sejarah sama seperti anatara filsafat ilmu dan ilmu. Kedua-duanya meneliti secara filsafati bagaimana proses pengumpulan pengetahuan terjadi dan bagaimana proses itu dapat dibenarkan.

http://blogs.unpad.ac.id/mumuhmz/category/fisafat-sejarah/

Rabu, 04 Maret 2009

Pendahuluan Filsafat

HAKEKAT PENDIDIKAN

Pendekatan-pendekatan mengenai hakekat pendidikan telah melahirkan berbagai jenis teori termasuk mengenai apakah sebenarnya pendidikan itu. Untuk menelusuri berbagai teori tersebut perlu kita sepakati, bahwa pendidikan itu bukan hanya suatu kata benda (noun) tetapi juga merupakan suatu proses atau kata kerja (verb). Ini sangat penting untuk bisa memahami hakekat pendidikan tersebut.

Pendidikan telah menjadi bahasan yang tak pernah tuntas untuk dikupas. Ruang-ruang ilmu pengetahuan yang melingkup di dalamnya menjadikan pendidikan bak roda yang terus berputar dengan poros sebagai pusat putarannya. Selalu tumbuh silih berganti teori-teori tentang pendidikan, bahkan seolah tak berujung dalam keterbatasan.

Jika menganalogikan poros roda adalah pusat putaran, tak keberatan jika memaknai poros pendidikan adalah nilai-nilai ke-Tuhan-an. Di poros itulah hulu dan hilir pendidika berada. Dan dengan nilai-nilai keTuhanan pula pendidikan akan kian menempati ruang dengan pemaknaan hakekat yang sesungguhnya serta menggiring manusia untuk menemui khazanah indah keterkaitan dalam hubungan dengan sesama makhluk dan dengan penciptanya.

Bila mengaca dari berbagai perintis gagasan perihal hakekat pendidikan, dan bila menyoal pendidikan, tentu akan berujung pula pada pertanyaan mengenai hakekat pendidikan itu sendiri. Selain menyoal pendidikan, sudah barang tentu menyoal pula apakah pendidikan itu telah memenuhi khazanah ilmu pengetahuan yang disebut ilmu pendidikan atau pedagogic, ataukah belum..?

Dari beberapa definisi yang muncul, hakekat pendidikan dapat dikategorikan dalam dua pendekatan, yaitu epistemologis dan ontology atau metafisik.

Pendekatan Epistemologis diturunkan dari Pendapat seorang Filsuf bernama RenĂ© Descartes (1596-1650) yang dipandang sebagai pelopor filosofi modern. Salah satu pernyataannya yang terkenal adalah :“Cogito ergo sum”. Dalam satu bagian dari bukunya Meditationes de Prima Philosophia (1641) , Descrates menyatakan :


Dari uraian tersebut dapat dilihat dasar pemikiran Descrates untuk menghilangkan keraguan dalam mendapatkan kebenaran. Di dalam pendekatan yang ditawarkan Descrates permasalahan yang muncul adalah soal kerangka ilmu pendidikan sebagai ilmu. Meskipun pendekatan tersebut berusaha mencari makna pendidikan sebagai ilmu yaitu mempunyai objek sebagai dasar analisis dalam membangun ilmu pengetahuan atau ilmu pendidikan.

Dari sudut pandang ini :

  1. Pendidikan dilihat sebagai suatu proses yang inheren dalam konsep manusia, artinya manusia hanya dapat dimanusiakan melalui proses pendidikan.

  2. Proses pendidikan berkenaan objek dari proses tersebut ialah peserta-didik. Tingkah laku proses pendewasaan peserta-didik merupakan objek dari ilmu pendidikan.

  3. Selanjutnya ada pula yang melihat hakekat pendidikan di dalam adanya pola struktur hubungan antara subyek dan obyek yaitu antara pendidik dan peserta didik.

Kelemahan pendekatan epistemologis mengenai hakekat pendidikan terletak pada lahirnya atau perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri.

Pendekatan Ontologi/metafisik menekankan pada hakekat keberadaan pendidikan yang tidak terlepas dari keberadaan manusia. Dalam pendekatan ini keberadaan peserta didik dan pendidik terlepas dari makna keberadaan manusia itu sendiri. Pendekatan ini didasari pada tulisan seorang filsuf ahli Metafisik Aristoteles dalam bukunya Metaphysics. Dalam buku tersebut ia menuliskan, bahwa.

Kedua jenis pendekatan mengenai hakekat pendidikan, baik pendekatan ontologis maupun pendekatan metafisik keduanya mempunyai kebenaran masing-masing. Sebagai ilmu, Ilmu pendidikan tentu mempunyai objek, metodologi, serta analisis proses pendidikan. Namun demikian objek atau subyek ilmu pendidikan adalah anak manusia. Sehingga tidak terlepas dari hakikat manusia.

Berbagai pendekatan mengenai hakikat pendidikan digolongkan atas dua kelompok besar yaitu :

  1. Pendekatan reduksionisme

  2. Pendekatan holistic integrative

Pengelompokan ini tidak bersifat hitam-putih tetapi sekedar menekankan garis besar dari teri-teori tersebut dan saling berdekatan, mengisi dan melengkapi. Oleh sebab itu, teori- teori tersebut mempunyai kesamaan dalam memberikan jawaban terhadap hakikat pendidikan, ialah bahwa pendidikan tidak dapat dikucilkan dari proses pemanusiaan. Tidak ada suatu masyarakatpun yang dapat eksis tanpa pendidikan.


http://www.edubenchmark.com/hakekat-pendidikan.html