Rabu, 18 Maret 2009

Filsafat Dalam Perspektif Sejarah

Bila cabang filsafat yang lima – epistemologi, metafisika, logika, etika dan estetika – dijadikan acuan, maka filsafat sejarah termasuk bagian dari cabang filsafat metafisika. Di sini orang mengajukan serangkaian pertanyaan radikal seputar persoalan sejarah, seperti: apa hakikat sejarah, apa tujuan gerak sejarah, apakah sejarah manusia mempunyai kecenderungan-kecenderungan, apakah perkembangan dalam sejarah manusia diatur oleh hukum-hukum tertentu, apakah hukum-hukum yang membentuk sejarah manusia, bagaimana sejarah manusia berawal, dan bagaimana ia berkembang, faktor-faktor apa yang berpengaruh secara efektif dalam teori tentang sejarah? Karena keradikalan pertanyaan yang diajukan mengenai hakikat sejarah itulah yang memungkinkan filsafat sejarah termasuk cabang metafisika.

Pengkajian sejarah secara filsafati dianggap cukup penting untuk memajukan Ilmu sejarah. Bahkan, bagi Kuntowijoyo (1994: xi-xii) peran kefilsafatan dalam pengkajian sejarah adalah sebuah keniscayaan bagi kemajuan Ilmu Sejarah, baik masalah kefilsafatan yang menyangkut pandangan hidup (specultive philosophy of history) maupun menyangkut teori, metodologi dan metodenya (critical philosophy of history). Malah, masalah etika — yang memperhatikan hubungan Ilmu Sejarah dengan ilmu-ilmu lainnya, terutama ilmu-ilmu sosial – dan estetika – yang mempersoalkan bagaimana menulis sejarah sejarah yang baik dan benar, misalnya tentang gaya, kuantifikasi, sejarah lisan – pun sesungguhnya punya peran penting bagi tujuan yang sama, meskipun kedua hal yang terakhir ini sering terabaikan.

Arti penting peran kefilsafatan bagi kemajuan Ilmu Sejarah, ternyata, tidak tampak dalam kenyataan. Para sejarawan “biasa” masih banyak yang kurang peduli dengan persoalan kefilsafatan (Filsafat Sejarah). Memang benar, sebagaimana diungkapkan oleh Ankersmit (1987: bahwa “untuk menjadi seorang sejarawan yang ulung, tidak mutlak perlu memiliki pengetahuan filsafat sejarah. Banyak sejarawan ulung tak pernah menekuni masalah-masalah filsafat sejarah”. Akan tetapi patut di sini diungkapkan manfaat pengetahuan filsafat sejarah bagi seorang peneliti sejarah, yakni bahwa pengetahuan mengenai filsafat sejarah dapat mempertajam kepekaan ktitis seorang peneliti sejarah. Fischer, seorang filosof sejarah, pada tahun 1971 menulis sebuah buku berjudul Historian’s Fallacies. Di dalamnya ia menyoroti beberapa kepincangan dalam penalaran yang secara sistematis muncul pada sementara ahli sejarah. Bahkan dalam buku ini ditemukan bahwa kekurangan daya nalar itu terdapat pada karya-karya ahli-ahli sejarah terkemuka (Ankersmit, 1987: 8).

Selain itu, kegunaan filsafat sejarah bagi seorang peneliti sejarah dapat meningkatkan kemampuan peneliti sejarah dalam mengadakan suatu penilaian pribadi mengenai keadaan pengkajian sejarah pada suatu saat tertentu. Bahkan, sekedar pengetahuan, filsafat sejarah mutlak perlu, agar dapat mengapresiasi pengkajian sejarah masa kini dengan memuaskan. Bukankah pengkajian sejarah turut ditentukan oleh diskusi-diskusi antara para filsuf sejarah mengenai sejarah? Selanjutnya, sedikit pengetahuan mengenai filsafat sejarah dapat memaparkan latar belakang bagi seorang ahli sejarah, untuk menentukan posisinya sendiri terhadap usaha-usaha memasukkan pendekatan-pendekatan baru terhadap sejarah. Dalam pengkajian sejarah terdapat banyak aliran, sehingga perlu diadakan identifikasi. Di sini pengetahuan mengenai filsafat sejarah ada manfaatnya.

Satu hal lagi perlu disampaikan di sini bahwa setiap ahli sejarah yang dengan sungguh-sungguh menekuni pofesinya, mau tidak mau menganut beberapa pendapat yang berakar pada filsafat sejarah. Intuisi-intuisi serupa itu tidak selalu serasi dengan perkembangan ilmu sejarah. Para filosof sejarah dengan susah payah merekonstruksi logika penelitian sejarah; maka dari itu tidak mengherankan, bahwa para peneliti sejarah sendiri, kalau hanya mengandalkan intuisinya, kadang-kadang sampai pada kesimpulan-kesimpulan mengenai bidang penelitiannya yang sukar dapat dipertahankan. Memang, filsafat sejarah tidak mengajarkan bagaimana pengkajian sejarah harus dilakukan. Akan tetapi, filsafat sejarah dapat menawarkan pengertianmengenai untung ruginya berbagai pendekatan terhadap masa silam dan menjadikan kita waspada terhadap pendapat-pendapat kaliru mengenai tugas dan tujuab pengkajian sejarah.

Apa yang diharapkan dari Filsafat Sejarah? Untuk menjawab pertanyaan ini, terlebih dahulu perlu dibedakan tiga tahap. Pertama, tahap ilmu-ilmu pendukung. Tahap ini sangat penting bagi bagi seorang ahli sejarah bila ia ingin menentukan dengan tepat apa yang terjadi pada masa silam. Pada tahap ini selalu dipermasalahkan fakta dari masa silam. Tahap kedua menyangkut penulisan sejarah sendiri. Di sini fakta disusun menurut suatu kerangka yang penuh arti, dslam bentuk buku atau karangan. Untuk memperoleh kerangka penuh arti itu si ahli sejarah harus mempergunakan beberapa kaidah atau pedoman yang menjamin, supaya penyusunan fakta itu menghasilkan suau penafsiran mengenai masa silam yang dapat dimengerti atau pada prinsip yang dapat dipertahankan. Tahap ketiga adalah filsafat sejarah, khususnya filsafat sejarah kritis. Yang dipermasalahkan di sini ialah sejauhmana kaidah-kaidah serta pedoaman-pedoan yang disinggung di atas dapat dibenarkan, sehingga si ahli sejarah mengolah fakta-fakta yang telah ditemukan untuk menggambarkan masa silam.

Memang, seorang filsuf sejarah mempermasalahkan kaidah-kaidah serta pedoman-pedoman yang dipergunakan seorang ahli sejarah, sehingga pada prinsipnya memang mungkin, bahwa kaidah dan pedoman tersebut, bila dipandang dari sudut filsafat, tidak dapat dipertahankan, sehingga harus disingkirkan. Akan tetapi, andaikata sungguh terjadi suatu perbedaan pendapat antara apa yang dianggap legitim oleh seorang filsuf sejarah di satu pihak dan apa yang dilakukan oleh seorang ahli sejarah di lain pihak, ini belum berarti bahwa sang filsuf sejarah benar sedangkan sang ahli sejarah salah. Sang filsuf hendaknya selalu sadar, bahwa penelitian dan pengkajian sejarah dapat mengandalkan pengalaman berabad-abad lamanya dalam menekuni bahan-bahan sejarah. Kecerdasan para ahli sejarah bersama telah dipertajam lewat perdebatan-perdebatan dengan para rekan sejawat yang ada habis-habisnya. Maka dari itu, bila terjadi suatu konflik antara filsafat sejarah dan pengkajian sejarah, biasanya bukan si peneliti yang salah melainkan si filsuf.

Sesungguhnya terdapat tiga cakupan makna dalam Filsafat Sejarah. Pertama, filsafat sejarah yang bersifat deskripatif; di sini dikaji apa yang ditulis oleh berbagai ahli sejarah? Bagaimana ciri karya pada umumnya; adkah mereka menulis dengan maksud tertentu? Kemudian dapatkan dilihat suatu evolusi dari abad ke abad dalam cara para ahli itu menggambarkan masa silam? Bagian filsafat sejarah ini dinamakan “sejarah penulisan sejarah” atau historiografi. Kedua, berasal dari arti yang terkandung dalam kata sejarah itu sendiri. Kata sejarah pertama-tama dapat diperuntukkan bagi proses historis itu sendiri (sejarah sebagai peristiwa), baru kemudian bagi penulisan proses historis menurut kaidah-kaidah ilmu sejarah menurut kaidah ilmu-ilmu sejarah (sejarah sebagai kisah). Filsafat sejarah spekulatif berdasarkan arti yang pertama. Seorang filsuf sejarah spekulatif memandang arus sejarah faktual dalam keseluruhannya dan berusaha untuk menemukan suatu struktur dasar di dalam arus itu. Seorang filsuf sejarah spekulatif sungguh melangkah lebih jauh daripada seorang ahli sejarah semata-mata. Bila seorang ahli sejarah menerangkan dan melukiskan masa silam, ia melakukan itu dengan menerima masa silam apa adanya. Akan tetapi, seorang filsuf sejarah spekulatif tidak merasa puas dengan sikap seperti; a mencari suatu struktur-dalam yang tersembunyi di dalam proses historis dan hanya dapat berlangsung demikian dan hanya dapat erlangsung demikian.

Filsafat sejarah ktitis berdasarkan arti sejarah yang kedua. Filsafat sejarah kritis meneliti bagaimana masa silam dilukiskan atau digambarkan. Seorang filsuf sejarah kritis meneliti sarana-sarana yang dipergunakan seorang ahli sejarah dalam melukiskan masa silam dengan cara yang dapat dipertanggungjawabkan. Hubungan antara filsafat sejarah kritis dan pengkajian sejarah sama seperti anatara filsafat ilmu dan ilmu. Kedua-duanya meneliti secara filsafati bagaimana proses pengumpulan pengetahuan terjadi dan bagaimana proses itu dapat dibenarkan.

http://blogs.unpad.ac.id/mumuhmz/category/fisafat-sejarah/

Rabu, 04 Maret 2009

Pendahuluan Filsafat

HAKEKAT PENDIDIKAN

Pendekatan-pendekatan mengenai hakekat pendidikan telah melahirkan berbagai jenis teori termasuk mengenai apakah sebenarnya pendidikan itu. Untuk menelusuri berbagai teori tersebut perlu kita sepakati, bahwa pendidikan itu bukan hanya suatu kata benda (noun) tetapi juga merupakan suatu proses atau kata kerja (verb). Ini sangat penting untuk bisa memahami hakekat pendidikan tersebut.

Pendidikan telah menjadi bahasan yang tak pernah tuntas untuk dikupas. Ruang-ruang ilmu pengetahuan yang melingkup di dalamnya menjadikan pendidikan bak roda yang terus berputar dengan poros sebagai pusat putarannya. Selalu tumbuh silih berganti teori-teori tentang pendidikan, bahkan seolah tak berujung dalam keterbatasan.

Jika menganalogikan poros roda adalah pusat putaran, tak keberatan jika memaknai poros pendidikan adalah nilai-nilai ke-Tuhan-an. Di poros itulah hulu dan hilir pendidika berada. Dan dengan nilai-nilai keTuhanan pula pendidikan akan kian menempati ruang dengan pemaknaan hakekat yang sesungguhnya serta menggiring manusia untuk menemui khazanah indah keterkaitan dalam hubungan dengan sesama makhluk dan dengan penciptanya.

Bila mengaca dari berbagai perintis gagasan perihal hakekat pendidikan, dan bila menyoal pendidikan, tentu akan berujung pula pada pertanyaan mengenai hakekat pendidikan itu sendiri. Selain menyoal pendidikan, sudah barang tentu menyoal pula apakah pendidikan itu telah memenuhi khazanah ilmu pengetahuan yang disebut ilmu pendidikan atau pedagogic, ataukah belum..?

Dari beberapa definisi yang muncul, hakekat pendidikan dapat dikategorikan dalam dua pendekatan, yaitu epistemologis dan ontology atau metafisik.

Pendekatan Epistemologis diturunkan dari Pendapat seorang Filsuf bernama René Descartes (1596-1650) yang dipandang sebagai pelopor filosofi modern. Salah satu pernyataannya yang terkenal adalah :“Cogito ergo sum”. Dalam satu bagian dari bukunya Meditationes de Prima Philosophia (1641) , Descrates menyatakan :


Dari uraian tersebut dapat dilihat dasar pemikiran Descrates untuk menghilangkan keraguan dalam mendapatkan kebenaran. Di dalam pendekatan yang ditawarkan Descrates permasalahan yang muncul adalah soal kerangka ilmu pendidikan sebagai ilmu. Meskipun pendekatan tersebut berusaha mencari makna pendidikan sebagai ilmu yaitu mempunyai objek sebagai dasar analisis dalam membangun ilmu pengetahuan atau ilmu pendidikan.

Dari sudut pandang ini :

  1. Pendidikan dilihat sebagai suatu proses yang inheren dalam konsep manusia, artinya manusia hanya dapat dimanusiakan melalui proses pendidikan.

  2. Proses pendidikan berkenaan objek dari proses tersebut ialah peserta-didik. Tingkah laku proses pendewasaan peserta-didik merupakan objek dari ilmu pendidikan.

  3. Selanjutnya ada pula yang melihat hakekat pendidikan di dalam adanya pola struktur hubungan antara subyek dan obyek yaitu antara pendidik dan peserta didik.

Kelemahan pendekatan epistemologis mengenai hakekat pendidikan terletak pada lahirnya atau perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri.

Pendekatan Ontologi/metafisik menekankan pada hakekat keberadaan pendidikan yang tidak terlepas dari keberadaan manusia. Dalam pendekatan ini keberadaan peserta didik dan pendidik terlepas dari makna keberadaan manusia itu sendiri. Pendekatan ini didasari pada tulisan seorang filsuf ahli Metafisik Aristoteles dalam bukunya Metaphysics. Dalam buku tersebut ia menuliskan, bahwa.

Kedua jenis pendekatan mengenai hakekat pendidikan, baik pendekatan ontologis maupun pendekatan metafisik keduanya mempunyai kebenaran masing-masing. Sebagai ilmu, Ilmu pendidikan tentu mempunyai objek, metodologi, serta analisis proses pendidikan. Namun demikian objek atau subyek ilmu pendidikan adalah anak manusia. Sehingga tidak terlepas dari hakikat manusia.

Berbagai pendekatan mengenai hakikat pendidikan digolongkan atas dua kelompok besar yaitu :

  1. Pendekatan reduksionisme

  2. Pendekatan holistic integrative

Pengelompokan ini tidak bersifat hitam-putih tetapi sekedar menekankan garis besar dari teri-teori tersebut dan saling berdekatan, mengisi dan melengkapi. Oleh sebab itu, teori- teori tersebut mempunyai kesamaan dalam memberikan jawaban terhadap hakikat pendidikan, ialah bahwa pendidikan tidak dapat dikucilkan dari proses pemanusiaan. Tidak ada suatu masyarakatpun yang dapat eksis tanpa pendidikan.


http://www.edubenchmark.com/hakekat-pendidikan.html